“Ah, omongannya selalu tentang korupsilah, kolusilah, nepotismelah. Haaah…! omong kosong semuanya!! Sudah materi dan mata kuliah tak nyambung, pakai acara mengoceh lagi di kelas. Apa dia pikir yang dia lakukan tiap semester itu bukan korupsi namanya?? Menjual kopian buku yang harganya hanya 8 ribuan dengan harga 15 ribu per bijinya. Bayangkan, berapa untung yang diperolehnya dari semua mahasiswa yang diajarnya di kampus ini? Kalikan saja per kepalanya! Ouugghh…., aku benar-benar ingin muntah.”
Akela masih menggerutu tak karuan walau kuliah dengan bu Matri sudah selesai 10 menit yang lalu. Mahasiswi yang sudah 5 semester duduk di jurusan bahasa dan sastra Indonesia itu selalu protes setiap kali selesai kuliah dengan Bu Matri tentang tiga komponen buruk yang selalu mewarnai ceramahnya. Tapi di antara ketiga komponen ceramah itu, perkara korupsilah yang paling dibenci akela, karena dirasanya paling tak sesuai dengan prilaku Bu Matri sendiri.
“Sudahlah Akela, persoalan di kelas tadi jangan kamu perpanjang lagi. Percuma kamu protes di sini, juga tak akan mengubah apa-apa. Kenapa kamu tak protes saat Bu Matri berceramah tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme tadi saja, hah? Biar bisa langsung ditanggapi oleh Bu Matri. Biar kamu puas!” Agni sedikit kesal melihat tingkah pengecut temannya itu.
“Aku tak berani. Bisa-bisa nilai Semantikku diberi D. Tidak, tidak, aku tak bisa main-main dengan mata kuliah yang bobotnya 4 SKS itu.”
“Makanya, kalau tak punya nyali lebih baik diam. Banyak omong hanya akan membuat aku semakin melihat rendah dirimu.” Ujar Agni sambil mencibirkan lidahnya pada Akela.
“Songong….” Akela mendorong kepala Agni sambil disambut derai tawa mereka. ”Kita pulangnya nanti saja, temani aku ke fotokopi Pak Jujun dulu.”
***
Suasana di fotokopinya Pak Jujun tak terlalu ramai ketika Akela dan Agni datang di sore yang kian menjingga. Karena ini sudah jam pulang mahasiswa. Akela dan Agni menyapa laki-laki setengah baya yang terlihat sedang sibuk meniup-niup mesin fotokopinya itu. Sepertinya mesin fotokopinya bermasalah lagi.
“Eh Akela, Agni. Baru pulang kuliah ya?”
“Iya Pak Jujun, ini baru selesai kuliah sama wanita pengoceh.” Celetuk Akela.
“Huss..” Agni menyunggingkan mulutnya ke arah Akela. Pak Jujun hanya menanggapi dengan tertawa maklum.
“Mesin fotokopinya bermasalah lagi ya Pak Jujun?” Tanya Agni.
“Iya nih, sepertinya sudah harus diganti sama yang baru, Agni.” Ujar Pak Jujun sembari sibuk mengecek seluk-beluk mesin fotokopinya yang mungkin saja ada bagian yang hilang atau tak terpasang dengan benar. Agni hanya menanggapi dengan senyuman.
“Boleh liat-liat kopiannya ya Pak Jujun.” Seru Akela setengah berteriak, lantas langsung membalik-balikkan beberapa buku kopian di depannya sebelum mendapatkan izin dari laki-laki beraut wibawa itu. Akela pun menjangkau satu buku yang sangat dikenalnya.
“Nah Ak, lihat ini. Persiskan dengan buku yang dijual Bu Matri ke kita tadi? Judulnya sama, pengarang dan tahun terbit pun sama persis. Lihat harganya ini. Ini nih, lihat. Hanya sembilan ribu. Cuma beda seribu dengan anggaranku semula. Kenapa kita tak beli di toko fotokopi saja tadi? Kan lumayan bisa hemat enam ribu.” Akela menunjuk-nunjuk lebel kecil di sampul buku yang dipegangnya itu.
“Kamu ini benar-benar ya Akela. Udahlah, yang berlalu tak usah diributkan lagi. Toh uang enam ribumu juga tak akan kembali kalau kamu mengoceh terus-terusan seperti ini. Gak ada salahnya kan Bu Matri ngambil untung karena udah susah-susah ngopiin buku sebanyak itu?”
“Ngambil untung sih ngambil untung Ak, tapi kira-kira dong. Masak ngambil untung sampai dua kali lipat?”
“Udah tau harganya hampir dua kali lipat, kenapa masih mau beli?”
“Orang dipaksa seperti itu gimana caranya gak akan beli coba? Katanya yang ini lebih lengkaplah, ada izin kopinyalah, ada ininyalah, ada itunyalah. Jelas saja semuanya pada beli.”
“Kan katanya. Tapi ternyata sama jugakan dengan kopian di sini? Salah sendiri kenapa mau dikibulin Bu Matri.”
“Ah, capek ngomong sama kamu Ak. Kamu belain Bu Matri terus. Sebenernya temen kamu itu aku atau Bu Matri sih?” Akela kesal.
“Temen aku ya kamu, Bu Matri dosen aku. Sekarang coba kamu pikir, lebih terhormat mana temen dibanding dosen?”
“Temen donk. Yang selalu ada disamping kamu kan aku, bukan Bu Matri.”
“Nah, yang ngasih ilmu, pengetahuan, wawasan, dan nilai aku, kamu atau Bu Matri?”
“Bu Matri sih, tapi bukan berarti aku ga pernah ngasih pengetahuan dan penilaian sama kamu lho.”
“Yang sudah sarjana siapa?”
“Ah, kamu Ak.”
***
Suasana di kelas perkuliahan semantik hari itu terlihat begitu menegangkan ketika Bu Matri mulai bercerita tentang bencinya dia dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Suaranya yang lantang menghipnotis semua mahasiswa di kelas itu untuk bungkam, tak berani angkat bicara, bahkan untuk menarik nafas pun mereka harus berhati-hati. Takut kalau tarikan nafasnya akan menimbulkan bunyi yang bisa mengganggu konsentrasi wanita berwajah Laverna di Fairytopia itu. Untung-untung ada seseorang yang datang dan melakukan hal semacam apa sajalah yang bisa mengalihkan perhatian wanita itu lantas membuat ceramah menggebu-gebunya terhenti.
Sedangkan di kursinya, Akela tampak sibuk menahan-nahan kobaran di dadanya mendengar ceramah Bu Matri yang baginya dianggap ocehan itu. Wajahnya terlihat merah padam dan matanya melotot hampir mau keluar seperti orang yang kesusahan menahan muntah yang sudah mencapai anak lidah. Tiba-tiba perutnya terasa naik turun, air liur di mulutnya terasa meleleh dan rasanya sangat aneh. Mata Akela pun semakin melotot saja.
“Wwuueeeeeek!!”
Ooouuhh…, seluruh mata tertuju ke arah Akela yang tampak terbungkuk meludah-ludahi sisa cairan kental di mulutnya. Ceramah Bu Matri spontan terhenti. Mata wanita itu terbelalak ke arah cairan kental yang menggenang di lantai dengan bau asam yang menusuk-nusuk hidungnya. Sesaat mata panjang itu menyipit dan sepasang alisnya mengerut.
“Apa yang anda lakukan Akel?? Sembarangan saja anda muntah. Saya mengerti kalau anda juga muak dengan para pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme itu. Tapi tolong pikir-pikir dulu kalau mau muntah. Jangan muntah di kelas.”
“Ha?”
“Sudah, anda bersihkan muntah itu sampai tak tersisa bau semilir pun! Saya tiba-tiba kurang enak badan hari ini. kita cukupkan saja kuliah kita.” Bu Matri segera mengemas-ngemaskan buku dan pulpen ke dalam tasnya. “Ketua! Nanti anda antarkan absensi ke kantor jurusan. Paham?” Tanpa mempedulikan tanggapan ketua kelas Bu Matri buru-buru hilang ke balik pintu.
Suasana kelas pun beranjak dari ketegangan menuju kebengongan yang membeku. Seluruh tatapan seisi kelas masih mengerumuni Akela. Agni bergegas mendekati Akela di kursinya.
“Akela! Ih, jorok.” Agni menutup hidungnya saat berada di hadapan Akela yang sibuk menyeka matanya yang berair. “Kenapa bisa sampai muntah?”
“Aku eneg mendengar ocehan wanita itu. Perutku rasanya naik ke dada mendengar omong kosong Bu Matri, Ak. Dia katakan aku muntah karena ikut muak dengan pejabat yang diocehkannya itu, padahal muntahku karena dia. Hah, korupsi taik! Seenaknya aja dia mengakhiri perkuliahan sebelum waktunya. Apa dia gak sadar kalau dia udah korupsi waktu?? Memangnya dia pikir yang disebut korupsi itu hanya mencuri uang rakyat saja apa?
“Tapi kok bisa kamu sampai benar-benar muntah La? Gimana caranya?”
“Ya karena aku benar-benar muak melihatnya.”
“Sulit dipercaya kalau kamu ternyata benar-benar tak suka sama Bu Matri. Tapi, dengan ketidaksukaan yang segini besar, seharusnya kamu berani menggugat pendapat Bu Matri. Jangan hanya diam, menahan hati, lalu muntah seperti ini saja. Lihatkan, gara-gara ulahmu ini, semua teman-teman jadi rugi satu kali pertemuan?”
“Apa, ulahku?” Akela mengerutkan jidat. “Ak, aku pengen nanya deh sama kamu. Apa menurut kamu Bu Matri itu sudah mengajar yang benar? Apa semua yang dikatakannya itu sesuai dengan yang dilakukannya selama ini? Dan apa materi yang disampaikannya itu relevan dengan mata kuliah yang dia ajar? Coba jawab Ak. Atau cuma aku saja dikelas ini yang merasakan kejanggalan itu??”
Agni terdiam sesaat.
“Aku sebenarnya juga sependapat dengan kamu La. Semua protes-protes bisumu yang selama ini selalu membuat telingaku penat itu sebenarnya juga adalah protes-protes yang ada dalam hatiku. Tapi aku lebih memilih untuk diam. Karena selagi hal itu tak menggangguku, aku tak peduli. Biarlah ia terus berjalan hingga nanti ia lewat, dan aku akan lupa, asalkan aku tak dirugikan.”
“Apa bedanya? Kamu pun sama pengecutnya sepertiku Agni.”
“Aku tidak pernah mempermasalahkan apa yang selalu kamu permasalahkan itu, Akela. Jadi wajar aku tak melakukan penggugatan. Kamu mempermasalahkannya karena kamu merasa telah dirugikan, sedangkan aku tidak. Kenapa kamu meributkan masalah uang enam ribu yang terdorong itu? Karena kamu memang sedang tak punya uang, makanya kamu merasa dirugikan. Jadi jangan kamu samakan aku dengan kepengecutanmu itu. Jika memang tak pernah punya niat untuk menggugat secara langsung, lebih baik jangan menggugat habis-habisan di belakang. Itu hanya akan serupa perbuatan menggarami lautan, perbuatan yang sia-sia saja Akela.”
“Aku bukan pengecut. Aku berani menggugat apa yang tak ku setujui dari Bu Matri. Minggu depan aku akan mengungkapkan semua protesku secara langsung pada Bu Matri. Kamu lihat saja.”
“Baik, kamu buktikanlah Akela.”
***
Kuliah Semantik berikutnya seperti biasa diawali dengan ceramah Bu Matri tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Semua mahasiswa kembali terpaku menatapi Laverna itu bercerita.
“Pencuri terlakhnat di dunia ini adalah koruptor, perbuatan terhina di jagad raya ini adalah kolusi, nepotis adalah kelompok orang-orang pengecut yang terbelenggu dengan rasa takut dan pertimbangan. Takut melukai, takut menyinggung, takut meng-asingkan, dan sebagainya. Pejabat-pejabat yang mencuri uang rakyat itu sama halnya dengan sampah masyarakat. Kalian, kalianlah yang harus membasminya. Ingat itu! Kalian harus membasminya!” Semangat bu matri berkobar-kobar sambil menunjuk mahasiswanya satu-persatu.
Sementara Akela dari tadi bingung mau mengatakan apa. Karena hari ini dia harus memenuhi janji seminggu yang lalu pada agni, dan akan mengungkapkan semua protesnya pada Bu Matri. Tapi Akela sangsi mau memulai dari mana. Ia dikuasai keraguan yang luar biasa saat ini. Detak jantungnya seakan sudah terdengar oleh telinganya sendiri saking cemasnya dia. Akela pun akhirnya mencoba memberanikan diri untuk membuka mulut.
“Saya tidak suka buk!” Seru Akela tiba-tiba memotong ceramah Bu Matri. Bu Matri seketika memusatkan tatapannya pada gadis yang duduk dengan mantap di kursinya itu.
“Ya, saya tahu kamu sangat membenci itu Akel. Saya pun sudah menyadarinya dari kemarin-kemarin.”
“Ha? Yang benar Buk? Jadi Ibuk sudah tau tentang semua protes-protes saya?” Akela benar-benar terkejut dan tak menyangka. Tapi, akhirnya ia merasa lega ternyata Bu Matri sudah tahu maksudnya tanpa ia harus bersusah-susah memilih kata untuk menjelaskannya. Tak disangkanya bahwa menggugat seorang dosen itu semudah ini.
“Ya, saya tahu Akel.”
“Lalu, kenapa Ibuk tidak marah?”
“Kenapa saya harus marah? Saya pun sesungguhnya sangat muak dan membenci prilaku seperti itu.”
“Jika Ibuk benar membencinya, lantas kenapa Ibuk masih juga bercerita masalah korupsi, kolusi dan nepotisme?”
“Agar rasa benci di dalam dadamu itu semakin beranak-pinak. Rasa benci kepada prilaku yang buruk dengan sendirinya akan menjauhkan kita untuk meniru prilaku tersebut Akel.” Ujar Bu Matri dengan mantap.
“Iya, benar yang Ibuk katakan. Saya akan haramkan untuk melakukan hal rendah seperti itu Buk. Walaupun Ibuk adalah dosen saya, tapi jika seorang dosen melakukan kesalahan, mahasiswa tak perlu mengikuti kesalahannya itu. Benarkan? Meskipun selama ini apa yang selalu Ibuk katakan tak pernah sesuai dengan apa yang Ibuk lakukan, walaupun materi yang Ibuk berikan tak pula sesuai dengan mata kuliah yang Ibuk ajar, walaupun Ibuk selalu mengambil untung dua kali lipat dari harga kopian buku yang Ibuk jual, dan walaupun Ibuk melakukan korupsi waktu dengan sengaja, saya sudah memaafkannya karena mengetahui Ibuk ternyata sudah menyadari kesalahan Ibuk tersebut. Setelah ini, saya tidak akan mempermasalahkan hal ini lagi, mengingat bahwa tak ada manusia yang terlepas dari kekhilafan. Dan saya pun sudah merasa lega karena protes yang selama ini selalu saya pendam dan hanya bisa saya ungkapkan kepada Agni, sekarang sudah tersampaikan kepada orangnya secara langsung. Terimakasih atas kebijaksanaan Ibuk untuk memakluminya.”
Sebuah halilintar telah menyengat muka dosen itu. Di sudut ruangan kelas Bu Matri berdiri kaku dengan wajah pucat yang kini berubah membiru. Masih ditatapnya Akela yang tersenyum simpul di duduknya dengan tatapan yang sudah jauh berbeda dengan tatapan pertama tadi. Mulutnya setengah terbuka, lalu terkatup lagi seperti hendak mengucapkan sesuatu. Jika sempat keluar, maka yang keluar adalah makian dan hardikkan kasar. Tapi sepatah kata pun tak jua keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian bibir itu bergetar sebelum akhirnya ia kemasi buku-buku dan pulpennya di atas meja, lalu bergegas meninggalkan ruangan perkuliahan.
END