Lelaki Gaek dan Kereta Reot di Megahnya Museum Adityawarman
Lelaki ini tidak lagi muda. Dari raut wajahnya tergambar jelas usianya yang telah senja. Namun, semangatnya tetap membara untuk mengais rupiah demi rupiah di halaman Museum Adityawarman yang terletak di Jl. Diponegoro, Padang. Museum yang berdiri megah dan dikelilingi taman-taman nan rindang ini menjadi tempat Buyung, 84 menggantung sejuta asa dan harapan untuk menyambung hidupnya. Di usianya yang telah berlumut waktu dan masa tua yang seharusnya ia nikmati dengan santai bersama anak dan cucunya harus ia relakan.
Setiap pagi Buyung harus mendorong kereta reotnya dari rumahnya yang berjarak sekitar 1km ke museum, begitupun jika senja menjelang Buyung harus mendorong keretanya kembali pulang. Setiap hari selama belasan tahun Buyung melakukannya dengan berjualan minuman botol tanpa kenal kata “Aku lelah”.
Bagi Buyung usia bukan alasan untuk bersantai dan bermalas-malasan. Meskipun tubuhnya telah ringkih dan menggigil setiap kali ia bergerak, pantang baginya untuk bergantung hidup pada orang lain sekalipun itu anaknya sendiri. Lelaki gaek putra asli daerah penghasil saka Lawang ini bertutur “Kalau di kampuang lakeh gaek wak, sa umua ambo ko lah batungkek kama pai. Sabab di kampuang sawah jo ladang yang ka di adok’i. Tapi kalau di kota ko banyak yang ka dicaliak jo nan ka dikarajoan.
Pado bamanuang-manuang di rumah rancak dibaok manggaleh ketek-ketek ko lai”. (Kalau di kampung kita bisa cepat tua, seumur saya ini paling-paling sudah bertongkat kemana pergi. Sebab di kampung sawah dan ladang yang dihadapi.
Tapi kalau di kota banyak yang bisa dilihat dan dikerjakan. Daripada bermenung-menung di rumah lebih baik dibawa jualan kecil-kecilan) begitulah sepenggal cerita Buyung ketika kami menyambangi beliau disela-sela waktu berdagangnya. Meskipun pengunjung museum tidak selalu ramai, namun Buyung tetap optimis. Dari sinar matanya ada secercah harapan bahwa jika berusaha dengan bersungguh-sungguh maka Tuhan akan memberikan jalanNya.
Tidak banyak yang diharapkan lelaki gaek ini. Baginya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari saja itu sudah cukup walaupun sederhana. Buyung memiliki lima orang anak yang semuanya sudah menikah. Padahal jika Buyung mau, ia dan istrinya dapat tinggal bersama anaknya tanpa harus berjualan. Namun, itu tidak dilakukan Buyung, ia tidak mau menjadi beban bagi anak-anaknya. Ia lebih memilih jalan hidupnya sebagai pedagang kecil-kecilan. Di rumah istri Buyung pun juga berjualan sepertinya sehingga cukuplah bagi dua gaek ini hidup berdua dari hasil berjualan yang tidak seberapa.
Buyung memulai aktivitasnya dari pukul 08.00 wib sampai pukul 17.00 wib. Penghasilan yang didapatnya tidak menentu. Ketika ditanya berapa pendapatan sehari-harinya Buyung menjawab “Kalau panghasilan ko ndak dapek wak manilai do, kadang kalau galombang sadang naiak lai lah mandapek, tapi kalau galombang sadang suruik yo agak bakurang, tapi lai lah cukuik. Induak bareh manggaleh lo di rumah. Kalau ndak cukuik mintak se lah matilai. Karajo ko ndak bapasoan do sabab anak-anak lah lapehnyo”. (Kalau penghasilan ini tidak dapat kita menilai, kadang kalau ramai bisa lumayan, tapi kalau sedang sepi pendapatan agak kurang. Tapi cukuplah. Istri juga berjualan di rumah. Kalau tidak cukup minta mati aja. Kerja ini tidak dipaksakan sebab anak-anak sudah lepas).Ujar Buyung sambil tertawa.
Semangat Buyung ibarat kokohnya nilai-nilai budaya yang selalu dikobarkan lewat pameran-pameran di museum. Hal ini patut dicontoh oleh para generasi muda. Menghargai waktu dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat itulah yang harus dilakukan, bukan menyia-nyiakan waktu dengan berleha-leha. Bersemangat dan berusaha untuk mencapai cita-cita dan dapat berguna bagi Nusa dan Bangsa. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari sekelumit kisah hidup Buyung seorang lelaki gaek penjual minuman botol di taman museum Adityawarman ini.
Di sisi lain, pihak museum menyebutkan lebih kurang 6000 orang setiap bulannya yang datang mengunjungi museum ini. Jadi, museum dapat menarik pengunjung kira-kira 72.000 orang setiap tahunnya. Pihak pengelola museum terus berupaya mencari cara untuk menarik lebih banyak lagi pengunjung. Baru-baru ini telah diadakan diskusi dan lomba tentang koleksi museum. Kegiatan ini bertujuan untuk lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang fungsi museum.
Museum tidak hanya sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda kuno, melainkan museum juga bisa dijadikan tempat rekreasi yang sarat akan nilai-nilai pendidikan. Museum merupakan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Kita lahir sebagai masyarakat yang berbudaya dan sudah seharusnya lah kita mencintai budaya sendiri. Salah satu caranya adalah dengan berkunjung ke museum dengan begitu setidaknya kita sudah menghargai budaya sendiri. (FENI OLIVIA/ sesi G 2010)