AYAM KAMPUS
Oleh: Sri Alfa Hidayati
Ayam, binatang yang dari subuh hari telah turun dari peraduannya untuk mengais-ngais di tanah untuk mencari makan. Yang betina mengajari anak-anaknya untuk mencari makan, sedangkan yang jantan bertengger di atas dahan atau atap, berkokok membangunkan orang-orang yang masih tidur. Ketika orang-orang masih terlelap di balik slimutnya, ayam sudah mulai mencari beraktifitas. Mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tanah dan bongkahan-bongkahan kerikil kecil. Apabila telah terlihat mangsanya, tidak akan dilepakan begitu saja. Demikian merupakan sisi positif dari seekor inatang.
Namun di balik sisi positif itu, ada sisi negatifnya juga. Ayam, terlebih ayam kampung, merupakan hewan iaraan yang hidup bebas. Hidup tanpa aturan dan norma yang mengikat. Ya, namanya juga binatang. Hidup bebas, mau bergaul dengan siapa saja, takkan ada yang larang.
Bergaul dengan anaknya maupun induknya boleh-boleh saja, itu hal yang sudah lumrah dalam keidupan ayam. Apa lagi untuk berhubungan dengan pejantan atau betina lain. Setelah merasa cukup, kepentingan masing-masing sudah terpenuhi, cerita habis sampai di situ. Jarang sekali ayam jantan yang akan bertanggung jawab dengan apa yang telah diperbuatnya. Begitulah nasib ayam betina. Meskipun sering diperlakukan demikian oleh ayam jantan, masih saja tidak ada perubahan pada diri ayam betina. Hal ini wajar, karena ayam hanyalah sekor binatang yang tidak mempunyai akal dan pikiran seperti manusia. Jadi mustahil bagi mereka untuk bisa belajar dari pegalaman. Sehingga siklus kehidupan mereka tidak ada perubahan, selalu itu keitu saja kisah yang terjadi.
Alam takambang jadi guru. Sepenggal ungkapan ini merupakan slogan yang selama ini jadi pegangan oleh kebanyakan orang-orang, khususnya masyarakat minang. Agaknya, karena ini ungkapan ini jugalah banyak orang-orang yang belajar dari alam. Belajar dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, termasuk kisah kehidupan ayam tadi. Sebagai makhuk ciptaan tuhan yang dianugerahi akal dan pikiran, kita diberikan kelebihan untuk bisa belajar dari alam sekiar, serta belajar dari pengalaman sdan peristiwa yang kta alami, termasuk mempelajari tingkah laku binatang. Tentunya dengan mempelajari hal positif, untuk dapat ditiru, dan meninggalkan yang negatifnya.
Tapi tak jarang juga yang meniru hal negatif, di samping mengambil hal yang positif tersebut. Tak usah jauh-jauh, kita bisa amati kehidupan yang dekat sekali dengan kita, yaitu lingkungan mahasiswa. Kaum pelajar tingkat atas, yang memliki pemikiran yang lebih maju, dan kritis, yang seharusnya sangat paham dengan norma, dan aturan moral.
Di kalangan kaum terpelajar yang menuntut ilmu diperguruan tinggi ini dikenal istilah” ayam kampus”. Ayam kampus ini ada diberbagai universtas dan sekolah tinggi. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dikalangan mahasiswa.
Sebutan ayam kampus ini melekat pada para mahasiswi berkelakuan seperti ayam betina. Mereka datang kekampus dengan modal tampang, dengan tujuan yang sama dengan mahasiswi lain, yaitu mencari ilmu dan yang pasti untuk mendapatkan nilai yang baik. Tapi cara yang mereka tempuh berbeda. Disamping mengikuti perkuliahan biasa, dengan sedikit esek-esekan dengan pihak terkait, nilai yang baik bisa didapatkan. Hal ini sungguh melanggar norma. Tentunya tidak semua mahasiswi dan dosen yang berkelakuan seperti itu. Berpedoman informasi yang diperoleh dari orang yang memiliki pengalaman dalam kehidupan ayam kampus seperti itu, menceritakan, ayam kampus ini ada hampir di setiap perguruan tinggi. Bahkan di luarpun mereka masih melanjutkan aksinya.
Hal ini sungguh sangat tidak sesuai dengan status yang tengah mereka sandang, seorang calon intelek, yang seharusnya mejadikan bangsa ini lebih baik dan lebih bermoral. Namun kenyataannya justru mereka sendiri yang mejatuhkan moral bangsa. kalau perguruan tinggi masih di huni oleh para ayam kampus, lalu apa bedanya kampus dengan kandang ayam?